PENYAKIT DIARE PADA BALITA
Seorang bayi sampai dengan usia balita rentan terhadap diare. Di Indonesia kasus kematian pada anak dikarenakan diare masih terbilang cukup tinggi, sehingga ada baiknya bila para ibu lebih berhati-hati dalam menjaga anaknya agar bisa terhindar dari diare.
Sampai saat ini penyakit yang masih menjadi masalah utama kesehatan pada negara berkembang dan merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak dibawah lima adalah gastroenteritis atau juga sering disebut diare akut. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2010 angka kematian balita di Indonesia yang disebabkan oleh gastroenteritis (diare) adalah 36 kematian per 1.000 kelahiran hidup.
A. Gastroenteritis (Diare)
1. Definisi Gastroenteritis (Diare)
Diare menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization), adalah buang air besar dengan frekuensi lebih sering (lebih dari tiga kali sehari) dan bentuk tinja lebih cair dari biasanya.
Gastroenteritis adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu (Suharyono, 2008).
Gastroenteritis digunakan secara luas untuk menguraikan pasien yang mengalami perkembangan diare dan atau muntah akut. Istilah ini mengacu pada terdapat proses inflamasi dalam lambung dan usus, walaupun pada beberapa kasus tidak selalu demikian pada kondisi seperti kolera atau apa yang dihasilkan oleh E. coli, dimana mukosa usus dan gaster secara struktural ada kecenderungan normal. Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari, dengan atau tanpa darah dan/atau lender dalam feses sedangkan gastroenteritis didefinisikan dengan diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat. Diare berlangsung kurang dari 14 hari (bahkan kebanyakan kurang dari tujuh hari) dengan disertai pengeluaran feses lunak atau cair, sering tanpa berdarah, mungkin disertai muntah dan panas.
2. Penyebab Gastroenteritis (Diare)
Bisa bermacam-macam tapi umumnya dikarenakan infeksi virus (rotavirus), bakteri yang masuk kedalam mulut melalui 4F (food, finger, feces, fly (lalat)), faktor lingkungan yang kurang bersih, alergi makanan tertentu.
Penyebab terpenting diare cair akut pada anak-anak di negara berkembang adaalah rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella, Campylobakter jejuni dan Crytosporidium. Penyakit gastroenteritis dapat ditularkan dengan cara fekal-oral melalui makanan dan minuman yang tercemar. Peluang untuk mengalami gastroenteritis antara anak laki-laki dan perempuan hampir sama. Diare cair akut menyebabkan dehidrasi dan bila masukan makanan berkurang, juga mengakibatkan kurang gizi, bahkan kematian yang disebabkan oleh dehidrasi (Sodikin, 2011).
Menurut Sodikin (2011) penyebab gastroenteritis dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1. Diare sekresi (secretory diarrhoea)
Dapat disebabkan oleh faktor-faktor antara lain:
a) Infeksi virus, kuman pathogen, atau penyebab lainnya (seperti keadaan gizi/gizi buruk, higine dan sanitasi yang buruk, kepadatan penduduk, sosial budaya, dan sosial ekonomi).
b) Hiperperistaltik usus halus yang dapat disebakan oleh bahan-bahan kimia, makanan (seperti keracunan makanan, makanan yang pedas atau terlalu asam), gangguan psikis (ketakutan, gugup) gangguan saraf, hawa dingin, alergi, dan sebagainya.
c) Defisiensi imun terutama SigA (Secretory Immunoglobulin A) yang mengakibatkan berlipatgandanya bakteri atau flora usus dan jamur (terutama Candida).
2. Diare osmotik disebabkan oleh malabsorpsi makanan, kekurangan kalori protein (KKP), bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dan bayi baru lahir.
3. Patogenesis Gastroenteritis (Diare)
Menurut Nany (2013) patogenesis gastroenteritis:
1) Masuknya jasad renik yang masih hidup ke dalam usus halus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung.
2) Jasad renik tersebut akan berkembang biak (multiplikasi) di dalam usus halus.
3) Dari jasad renik tersebut akan keluar toksin (toksin diaregenik).
4) Toksin diaregenik akan menyebabkan hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
Menurut Suharyono (2008) walaupun terdapat persamaan klinis pada gastroenteritis sebagai akibat etiologi yang berbeda, namun mekanisme terjadinya penyakit dapat berbeda.
1. Patogenesis Gastroenteritis karena Infeksi Bakteri
Patogenesis menurut etiologi dapat dibedakan sebagai berikut:
1) Produksi enterotoksin: E.coli enterotoksigenik (ETEC) dan V.cholerae
2) Kerusakan sel dan radang: Rotavirus dan Norwalk agent
3) Penetrasi epitel: EIEC, Shigella dan salmonella
Enterotoksin V. clolerae terdiri dari 2 sub unit yang antara berbeda dalam berat molekulnya, sehingga disebut sub- unit H (heavy) dan sub-unit L (light). Setiap toksin terdiri dari satu sub-unit H dan 6 sub-unit L, sub-unit L mempunyai tugas melekat pada reseptor sel membran sedangkan sub-unit H akan menimbulkan gejala daripada toksinnya. Jadi toksin (sub-unit L) yang dikeluarkan oleh kuman tersebut mengikat reseptor pada sel membran yang kemudian menyebabkan bekerjanya sub-unit H yang mengaktifkan enzim adenilsiklase usus. Maka terjadi produksi “cyclic adenosine monophosphate” yang mengakibatkan diare sehingga terjadinya keluarnya cairan pada elektrolit. Pada ETEC, bekerjanya LT seperti toksin sub-unit H pada kolera.
2. Patogenesis Gastroenteritis karena Virus
Percobaan pada binatang menjelaskan pathogenesis Gastroenteritis karena Virus, dikemukakan bahwa invasi pada mukosa usus menyebabkan kerusakan sel vili. Terdapatlah “villous blunting” dan usus kurang mampu mengabsorpis garam dan air. Juga terdapat kekurangan enzim terutama disakaridase.
4. Patofisiologi Gastroenteritis (Diare)
Menurut Suharyono (2008) gastroenteritis mengakibatkan terjadinya:
a. Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolic dan hipokalemia.
b. Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau pra-renjatan sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah, sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai dehidrasi muntah, perfusi jaringan berkurang sehingga hipoksia dan asidosismetabolik bertambah berat, peredaran otak dapat terjadi, kesadaran menurun dan bila tidak cepat diobati, penderita dapat meninggal.
c. Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah, kadang-kadang orangtuanya menghentikan pemberian makanan per-os karena takut bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan tetap diberikan dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal bertambah berat badan. Sebagai akibat hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat mengakibatkan kejang dan koma.
5. Pencegahan Gastroenteritis (Diare)
Dilakukan dari awal salah satunya adalah dengan memberikan ASI eksklusif pada bayi sampai dengan minimal usia bayi 6 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian MPASI (makanan pendamping ASI) setelahnya. Tetapi pemberian ASI dan MPASi sendiri juga harus dipastikan bersih, yaitu dengan membersihkan payudara sebelum memberikan ASI kepada bayi untuk menghindari bayi terinfeksi bakteri.
6. Pemeriksaan Penunjang Gastroenteritis (Diare)
Pemeriksaan objektif utama pada pasien gastroenteritis adalah penentuan tingkat keparahan dehidrasi dan deplesi elektrolit. Adanya demam menunjukan infeksi spesies Salmonella, Shigella atau Kampilobakter. Pemeriksaan colok dubur dan sigmoidoskopi harus dilakukan, kedua dimaksudkan untuk menilai tingkat peradangan rectal, jika ada dan mendapatkan feses untuk diperiksa (Sodikin, 2011).
Menurut Pudjiadi (2009) pemeriksaan tinja tidak rutin dilakukan pada gastroenteritis (diare akut), kecuali apabila ada tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis. Hal yang di nilai pada pemeriksaan tinja adalah:
1) Makroskopis : konsistensi, warna, lender, darah, bau.
2) Mikroskopis :leukosit, eritrosit, parasit, dan bakteri.
3) Kimia : pH, clinitest, elektrolit (Na, K, HCO3)
4) Biakan dan uji sensitivitas tidak di lakukan pada gastroenteritis.
Analisis gas darah dan elektrolit bila secara klinis di curigai adanya gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit.
7. Penatalaksanaan Gastroenteritis (Diare)
Dilakukan dengan memastikan bayi tidak mengalami dehidrasi yaitu dengan memberikan asupan cairan yang cukup. Berikan ASI sesering mungkin, buatkan cairan oralit dengan melarutkan 1 sdt garam dan 8 sdt gula ke dalam 5 gelas air matang. Kemudian, buatkan makanan yang banyak mengandung air seperti bubur sehingga tak hanya menggantikan cairan, tapi juga lebih mudah dicerna. Jika sekiranya langkah-langkah tersebut belum cukup untuk mengatasi diare pada bayi, mungkin perlu dibawa ke dokter. Biasanya, dokter akan melakukan pemeriksaan kadar elektrolit dan sel darah putih untuk memastikan bahwa penyakitnya tidak serius.
Penatalaksanaan penderita gastroenteritis dengan rencana terapi (terapi cairan) Menurut Maryunani (2010) adalah:
1. Rencana Terapi A: Tanpa Dehidrasi (kehilangan cairan < 5% berat badan)
Terapi dilaksanakan di rumah untuk mencegah dehidrasi dan malnutrisi. Seorang anak dengan diare tanpa dehidrasi memerlukan cairan dan garam tambahan untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Beberapa hal yang harus diajarkan kepada ibu untuk mencegah dehidrasi, malnutrisi dan saat merujuk, adalah:
a. Berikan anak cairan lebih dari biasanya untuk mencegah dehidrasi.
b. Teruskan pemberian makanan pada anak untuk mencegah malnutrisi.
c. Beri suplemen Zinc pada anak.
d. Bawa anak ke tenaga kesehatan bila terdapat tanda-tanda dehidrasi atau masalah lainnya seperti tinja cair keluar amat sering, muntah berulang, rasa haus meningkat atau tidak dapat makan/ minum seperti biasanya.
2. Rencana Terapi B: Dehidrasi Ringan-Sedang (kehilangan cairan 5- 10% berat badan)
Pada dehidrasi ringan-sedang, perlu diberikan Cairan Rehidrasi Oral (CRO). Komposisi Cairan Rehidrasi Oral (CRO) sangat penting untuk memperoleh penyerapan yang optimal. Terapi Cairan Rehidrasi Oral (CRO) yang dianjurkan WHO dengan komposisi Na 75 mmol/L, diberikan dengan pemantauan yang dilakukan diruang rawat sehari atau Pojok Upaya Rehidrasi Oral selama 3 jam. Penilaian kembali derajat dehidrasi, bila masukan/makan baik, penderita dapat dipulangkan.
Bila anak bisa minum, cairan rehidrasi oral (CRO) dapat diberikan sampai cairan parenteral dapat diberikan. Cairan parenteral (intravena) yang diberikan adalah Ringer Laktat (RL) atau KaEN 3B atau NaCl dengan jumlah cairan di hitung berdasarkan berat badan. Status hidrasi dievaluasi secara berkala:
1) Berat badan 3-10 kg : 200 mL/kgBB/hari
2) Berat badan 10-15 kg : 175 mL/kgBB/hari
3) Berat badan > 15 kg : 135 mL/kgBB/hari
Pasien dipantau di Puskesmas/Rumah Sakit selama proses rehidarsi sambil memberi edukasi tentang melakukan rehidrasi kepada orang tua (Pudjiadi, 2009).
3. Rencana Terapi C: Dehidrasi Berat (kehilangan cairan > 10% berat badan)
Diberikan cairan rehidrasi parenteral dengan ringer laktat (RL) atau ringer asetat sebanyak 100 ml/kgBB dengan tahapan sebagai berikut:
Tabel 1
Panduan Terapi Intravena pada Dehidrasi Berat
Usia | Pertama beri 30 ml/kg dalam: | Selanjutnya beri 70 ml/kg dalam: |
Bayi (< 1 tahun) | 1 jam | 5 jam |
Anak (> 1 tahun) | ½ jam | 2 ½ jam |
Sumber: Maryunani (2010) Hal: 31 Catatan:
1) Ringer Laktat diberikan pada 1 jam tahap pertama, sedangkan pada tahap selanjutnya dapat diberikan cairan lain, seperti KaEN 3B.
2) Setelah 6 jam (bayi) atau 3 jam (anak), pasien dievaluasi dengan menggunakan tabel penilaian dehidarsi dan tentukan rencana terapi selanjutnya sesuai dengan status dehidrasi (A, B, C).
3) Ulangi 1 kali lagi bila pulsasi nadi masih sangat lemah atau tidak teraba (Maryunani, 2010).