... Pendidikan Dan Ilmu Pengetahuan: Religius
Jam Digital

Tampilkan postingan dengan label Religius. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Religius. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 April 2022

 Hukum Menangis ketika Ditinggal Mati



Ditinggal mati kerabat, sahabat, dan orang-orang yang dicintai memang bisa menimbulkan kesedihan yang teramat dalam



Ditinggal mati kerabat, sahabat, dan orang-orang yang dicintai memang bisa menimbulkan kesedihan yang teramat dalam. Akan tetapi, sebagai seorang mukmin, kita wajib menerima segala ketetapan Allah Ta’ala tersebutSehingga, kita pun terhindar dari sikap marah, jengkel, dan tidak rida dengan takdir tersebut. Meskipun demikian, sebagai manusia biasa, wajar saja jika kita ingin menangis meneteskan air mata sebagai tanda sedihnya hati kita dengan berpulangnya kerabat atau sahabat yang kita cintai. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

شَهِدْنَا بِنْتًا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى القَبْرِ، قَالَ: فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ، قَالَ: فَقَالَ: «هَلْ مِنْكُمْ رَجُلٌ لَمْ يُقَارِفِ اللَّيْلَةَ؟» فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَنَا، قَالَ: «فَانْزِلْ» قَالَ: فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَا

Kami menyaksikan pemakaman putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Dia (Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu) berkata, “Dan saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di sisi liang lahat.” Dia (Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu) berkata, “Lalu aku melihat kedua mata beliau mengucurkan air mata.” Dia (Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu) berkata, “Maka beliau bertanya, “Siapakah di antara kalian yang malam tadi tidak berhubungan (dengan istrinya)?” Abu Thalhah berkata, “Aku.” Beliau berkata, “Turunlah engkau ke lahat!” Dia (Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)  berkata, “Maka, beliau pun ikut turun ke dalam kuburnya.” (HR. Bukhari no. 1285)

Terdapat beberapa faedah yang dapat diambil dari hadis di atas sebagaimana penjelasan berikut ini.

Baca Juga: Beriman terhadap Datangnya Kematian

Faedah pertama

Hadis di atas menunjukkan bolehnya menangis ketika ada saudara atau kerabat atau sahabat yang meninggal dunia dengan syarat tangisan tersebut tidak diiringi dengan meninggikan suara, merobek-robek kerah baju, atau menampar-nampar pipi, dan sejenisnya. Karena perbuatan tersebut menunjukkan keluh kesah, rasa marah, jengkel, dan tidak rida dengan takdir yang telah Allah Ta’ala tetapkan dan juga merupakan perbuatan (ciri khas) orang-orang jahiliah terdahulu.

Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ، أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

Bukan dari golongan kami siapa yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju, dan menyeru dengan seruan jahiliah (meratap).” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103)

Dari sahabat ‘Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ketika Sa’ad bin Ubadah sedang sakit, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguknya bersama ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Saad bin Abu Waqqash, dan ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhum. Ketika beliau menemuinya, beliau mendapatinya sedang dikerumuni oleh keluarganya. Beliau bertanya,

قَدْ قَضَى

Apakah ia sudah meninggal?

Mereka menjawab, “Belum, wahai Rasulullah.”

Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menangis. Ketika orang-orang melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menangis, mereka pun turut menangis.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلاَ تَسْمَعُونَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُعَذِّبُ بِدَمْعِ العَيْنِ، وَلاَ بِحُزْنِ القَلْبِ، وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا – وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ – أَوْ يَرْحَمُ، وَإِنَّ المَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

Tidakkah kalian mendengar bahwa Allah tidak mengazab dengan sebab tangisan air mata, tidak pula dengan sebab hati yang bersedih, namun Dia mengazab dengan ini.” Lalu beliau menunjuk lidahnya, atau dirahmati (karena lisan itu) dan sesungguhnya mayat itu diazab disebabkan tangisan keluarganya kepadanya.” (HR. Bukhari no. 1304 dan Muslim no. 924)

Bolehnya menangis ketika ditinggal mati kerabat juga ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditinggal mati putranya, Ibrahim. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Abu Saif Al-Qaiyn yang (istrinya) telah mengasuh dan menyusui Ibrahim (putra Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil Ibrahim dan menciumnya.

Setelah itu, pada kesempatan yang lain, kami mengunjunginya, sedangkan Ibrahim telah meninggal. Hal ini menyebabkan kedua mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berlinang air mata. Lalu ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu berkata kepada beliau, “Mengapa Anda menangis, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,

يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ

Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (tangisan kasih sayang).

Beliau lalu melanjutkan dengan kalimat yang lain dan bersabda,

إِنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan, kecuali apa yang diridai oleh Rabb kita. Dan kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim pastilah bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 2315)

Baca Juga: Hukum Mengumumkan Kematian Seseorang

Faedah kedua

Kandungan hadis di atas menunjukkan bahwa yang sesuai dengan sunah adalah orang yang menurunkan jenazah perempuan ke liang lahat adalah laki-laki yang pada malam harinya tidak berhubungan badan dengan istrinya, meskipun laki-laki tersebut adalah laki-laki ajnabi (laki-laki yang bukan mahram). Karena dalam hadis di atas, Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang menurunkan jenazah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke dalam lahat, padahal beliau bukan mahram bagi putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadis tersebut menunjukkan bolehnya bagi laki-laki untuk memasukkan jenazah perempuan ke dalam kuburnya, karena laki-laki lebih kuat untuk mengerjakan hal itu dibandingkan perempuan.“ (Fathul Baari, 3: 159)

Faedah ketiga

Hadis tersebut menunjukkan bahwa adanya nasihat atau ceramah ketika memakamkan jenazah tidaklah dituntunkan secara terus-menerus setiap kali memakamkan jenazah. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di samping makam dan tidak memberikan ceramah nasihat kepada sahabat yang ikut hadir. Yang dikenal atau tersebar (ma’ruf) dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah beliau lebih banyak diam serta menyibukkan diri dengan merenung dan memikirkan kondisi ketika itu (kematian). Demikianlah di antara petunjuk salaf setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan cukuplah kematian itu sebagai sebaik-baik peringatan dan nasihat. (Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 3: 274 dan Ahkaamul Maqaabir, hal. 398)

Akan tetapi, jika dalam kondisi tersebut ada di antara hadirin yang berilmu menyampaikan sedikit nasihat ringkas (singkat) yang berisi tentang motivasi agar manusia menyiapkan diri menghadapi kematian, memperingatkan bahwa kematian itu sangat dekat dengan kita, juga mengingatkan bahwa amal akan dihisab pada hari kiamat, tentu ini juga sebuah kebaikan. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah tidak menjadikan hal semacam ini sebagai suatu kebiasaan.

Hal ini sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami pernah berada di dekat kuburan Baqi’ Al-Ghorqad. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kami, lalu beliau duduk. Kami pun ikut duduk di dekat beliau. Beliau membawa sebuah tongkat kecil yang dengan tongkat itu beliau memukul-mukul permukaan tanah dan mengorek-ngoreknya, seraya berkata,

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ، مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلَّا كُتِبَ مَكَانُهَا مِنَ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، وَإِلَّا قَدْ كُتِبَ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً

Tidak ada seorang pun dari kalian dan juga tidak satu pun jiwa yang bernafas, melainkan telah ditentukan tempatnya di surga atau di neraka dan sudah ditentukan jalan sengsaranya atau bahagianya.” (HR. Bukhari no. 1362 dan Muslim no. 2647)

Faedah keempat

Hadis tersebut menunjukkan bolehnya duduk di samping makam ketika memakamkan jenazah, dengan syarat bahwa hal itu tidak membuat sempit orang-orang yang sedang memakamkan jenazah atau merusak makam yang ada di sekitarnya. Hal ini ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan dari sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu di atas.









 Beriman terhadap Datangnya Kematian



Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan keimanan kita terhadap kematian.

Pertama, kematian itu pasti datang

Kita harus meyakini bahwa siapa saja yang ada di dunia ini, baik penghuni langit dan bumi, baik manusia, jin, dan malaikat, dan makhluk Allah Ta’ala lainnya, pasti akan menjumpai kematian. Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (QS. Al-Qashash: 88)

Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali ‘Imran: 185)

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa,

أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الَّذِي لَا يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالْإِنْسُ يَمُوتُونَ

A’UUDZU BI’IZZATILLAHILLLADZII LAA ILAAHA ILLAA ANTAL LADZII LAA YAMUUTU WAL JINNU WAL INSU YAMUUTUUNA (Saya berlindung dengan kekuasaan-Mu yang tiada sesembahan yang hak selain Engkau, yang tidak pernah mati, sedangkan jin dan manusia pasti akan mati).” (HR. Bukhari no. 7383 dan Muslim no. 2717)

Kedua, ajal manusia sudah ditentukan, tidak akan lebih lama dan tidak akan lebih cepat

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf: 34)

Allah Ta’ala berfirman,

وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُم بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَى أَجَلٌ مُّسَمًّى ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan. Kemudian kepada Allahlah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Al-An’am: 60)

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ummu Habibah -istri Rasulullah- pernah berdoa sebagai berikut, ‘Ya Allah, berikanlah aku kenikmatan (panjangkanlah usiaku) bersama suamiku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ayahku Abu Sufyan, dan saudaraku Mu’awiyah.’”

Mendengar doa itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada istrinya Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha,

قَدْ سَأَلْتِ اللهَ لِآجَالٍ مَضْرُوبَةٍ، وَأَيَّامٍ مَعْدُودَةٍ، وَأَرْزَاقٍ مَقْسُومَةٍ، لَنْ يُعَجِّلَ شَيْئًا قَبْلَ حِلِّهِ، أَوْ يُؤَخِّرَ شَيْئًا عَنْ حِلِّهِ، وَلَوْ كُنْتِ سَأَلْتِ اللهَ أَنْ يُعِيذَكِ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ، أَوْ عَذَابٍ فِي الْقَبْرِ، كَانَ خَيْرًا وَأَفْضَلَ

Sesungguhnya kamu memohon kepada Allah ajal, kematian, dan rezeki yang telah ditentukan. Allah tidak akan mengajukan ataupun memundurkan sebelum waktunya. Apabila kamu memohon kepada Allah agar Dia menyelamatkanmu dari siksa neraka dan siksa kubur, maka hal itu lebih baik bagimu dan lebih utama.” (HR. Muslim no. 2663)

Baca Juga: Hukum Mengumumkan Kematian Seseorang

Adapun makna dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَه

Siapa yang ingin diluaskan rezekinya atau dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari no. 2067 dan Muslim no. 2557)

adalah “keberkahan dalam amal dan waktu”. Sehingga seseorang bisa mengerjakan banyak amal saleh di waktu yang sebentar (sedikit).

Ketiga, beriman bahwa tidak ada satu pun makhluk yang mengetahui kapan datangnya waktu kematian

Waktu datangnya kematian termasuk bagian dari ilmu gaib yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Maka, tidak ada yang mengetahui kapankah kematian menjemputnya, kecuali Allah Ta’ala semata. Allah Ta’ala berfirman,

وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri. Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan. Dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am: 59)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ

Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS. Luqman: 34)

Keempat, memperbanyak mengingat kematian dan menjadikan kematian itu ada di depan matanya

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ

Perbanyaklah mengingat penghancur kelezatan (yaitu, kematian).” (HR. Tirmidzi no. 3207, An-Nasa’i no. 1824, dan Ibnu Majah no. 4258, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Kelima, mempersiapkan diri sebelum datangnya kematian

Seorang mukmin hendaknya mempersiapkan dirinya sebelum datangnya kematian, dan juga mempersiapkan dirinya dengan hal-hal setelah kematian, baik azab atau nikmat kubur, hari kiamat, dan seterusnya. Allah Ta’ala berfirman,

حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحاً فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِن وَرَائِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al-Mu’minuun: 99-100)

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr: 18)

Demikian, semoga bermanfaat.











 Hukum Mengumumkan Kematian Seseorang


Ketika ada yang meninggal dari kaum Muslimin, terkadang kematiannya diumumkan kepada banyak orang. Ini disebut dengan an na’yu. Bagaimana hukum an na’yu dalam Islam?

Definisi an na’yu

An na’yu artinya mengumumkan kematian seseorang. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Atsir, beliau rahimahullah mengatakan,

نعى الميت إذا أذاع موته ، وأخبر به ، وإذا ندبه

Na’al mayyit artinya diumumkan kematiannya, dikabarkan kepada orang-orang, dan memotivasi orang-orang untuk bertakziah” (An Nihayah fi Gharibil Hadits, 5: 85).

Umumnya, an na’yu disertai dengan nida’ (panggilan dengan suara yang keras). Oleh karena itu, At Tirmidzi rahimahullah mendefinisikan an na’yu,

والنعي عندهم أن ينادى في الناس أن فلاناً مات ليشهدوا جنازته

An na’yu menurut para ulama adalah mengumumkan dengan suara yang keras kepada orang-orang bahwa si fulan telah meninggal dan diajak untuk menghadiri pemakamannya” (Jami’ At Tirmidzi, hal. 239).

Hukum an na’yu

An na’yu ada yang tercela dan ada yang dibolehkan. Para ulama merinci antara an na’yu yang disertai nida‘ (panggilan dengan suara keras) dengan tanpa disertai nida’.

Pertama: an na’yu jika disertai nida’

Ulama empat mazhab sepakat bahwa an na’yu jika disertai nida’, hukumnya makruh dan merupakan perbuatan yang tercela, walaupun mereka berbeda dalam rinciannya. Di antara dalilnya adalah perkataan Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiallahu’ anhuma, beliau berkata,

إذا مِتُّ فلا تُؤذِنوا بي؛ إنِّي أخافُ أن يكون نَعْيًا؛ فإنِّي سَمِعْتُ رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلَّم يَنْهَى عن النَّعْيِ

“Jika aku meninggal, maka janganlah kalian mengganggu aku (dengan mengumumkan kematianku), karena aku khawatir itu termasuk na’yu. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang an na’yu” (HR. At Tirmidzi no. 986, Ibnu Majah no. 1476, Ahmad no. 23502, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dan alasan terlarangnya an na’yu adalah karena menyerupai perbuatan orang-orang Jahiliyah terdahulu. Sedangkan Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari kaum itu” (HR. Abu Daud no. 4033, Ahmad no. 5232, disahihkan Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 1269).

Bagaimana bentuk an na’yu yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah terdahulu? Yaitu an na’yu yang disertai nida’ (seruan dengan suara keras), tanwih (memuji-muji berlebihan), dan tafkhim (membesar-besarkan nama si mayit). Sebagaimana dijelaskan Ibnu Abidin, ulama Hanafiyah, beliau rahimahullah berkata,

وكره بعضهم أن ينادى عليه في الأزقة والأسواق لأنه يشبه نعي الجاهلية والأصح أنه لا يكره إذا لم يكن معه تنويه بذكره وتفخيم

“Sebagian ulama memakruhkan an na’yu, jika disertai dengan seruan yang keras di gang-gang dan di pasar-pasar. Karena ini menyerupai perbuatan kaum Jahiliyah. Namun yang lebih tepat, an na’yu tidak dimakruhkan jika tidak disertai tanwih (memuji-muji berlebihan) terhadap mayit dan tafkhim (membesar-besarkan nama si mayit)” (Hasyiah Ibnu Abidin, 2: 239).

Baca Juga: Kematian Pasti Datang

An Nawawi rahimahullah, ulama besar Syafi’iyah, mengatakan,

اِسْتِحْبَاب الإِعْلام بِالْمَيِّتِ لا عَلَى صُورَة نَعْي الْجَاهِلِيَّة , بَلْ مُجَرَّد إِعْلَام للصَّلَاة عَلَيْهِ وَتَشْيِيعه وَقَضَاء حَقّه فِي ذَلِكَ , وَاَلَّذِي جَاءَ مِنْ النَّهْي عَنْ النَّعْي لَيْسَ الْمُرَاد بِهِ هَذَا , وَإِنَّمَا الْمُرَاد نَعْي الْجَاهِلِيَّة الْمُشْتَمِل عَلَى ذِكْر الْمَفَاخِر وَغَيْرهَا

“Dianjurkan mengumumkan kematian jika bukan dengan cara kaum Jahiliyah. Namun sekedar mengumumkan agar bisa menghadiri salat jenazah, memberitahukan info kepada orang lain, dan untuk menunaikan hak mayit. An na’yu yang dilarang oleh Nabi bukanlah an na’yu dengan tujuan ini, namun an na’yu ala kaum Jahiliyah yang disertai dengan menyebutkan pujian-pujian berlebihan terhadap mayit dan menyebutkan perkara lainnya” (Syarah Shahih Muslim, 7: 21).

Ringkasnya, sebagian ulama memakruhkan an na’yu secara mutlak jika disertai nida’. Dan sebagian ulama merinci, bahwa yang makruh adalah jika disertai tanwih (memuji-muji berlebihan) dan tafkhim (membesar-besarkan nama si mayit).

Yang rajih adalah pendapat kedua, bahwa boleh an na’yu disertai nida’ jika tidak disertai tanwih dan tafkhim. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ketika ditanya, “Bolehkan mengumumkan kematian seseorang di koran?” Beliau rahimahullah menjawab,

لا نعلم فيه شيئًا، من باب الخبر

“Kami memandang perbuatan tersebut tidak mengapa. Karena perbuatan demikian termasuk kebaikan” (Masail Al Imam Ibni Baz, no. 295, hal. 108).

Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan,

الإعلان عن موت الميت : فإن كان لمصلحة مثل أن يكون الميت واسع المعاملة مع الناس بين أخذ وإعطاء ، وأعلن موته لعل أحداً يكون له حق عليه فيقضى أو نحو ذلك : فلا بأس

“Mengumumkan kematian seseorang yang sudah meninggal, jika dilakukan untuk suatu maslahat, semisal jika si mayit tersebut muamalahnya luas di tengah masyarakat, sering melakukan transaksi, lalu diumumkan kematiannya karena bisa jadi ada seseorang yang haknya belum ditunaikan oleh si mayit, sehingga dengan diumumkan, hak tersebut bisa ditunaikan, atau maslahat yang semisalnya, ini hukumnya tidak mengapa” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 17: 461).

Syekh Abdullah bin Jibrin rahimahullah mengatakan,

لا بأس بنشر الخبر عن وفاة بعض الأشخاص المشهورين بالخير والصلاح ، ليحصل الترحم عليهم والدعاء لهم من المسلمين ، ولكن لا يجوز مدحهم بما ليس فيهم ، فإنَّ ذلك كذب صريح

“Tidak mengapa menyebarkan berita kematian sebagian orang yang dikenal sebagai orang baik dan salih. Agar ia didoakan rahmat oleh kaum Muslimin serta didoakan kebaikan. Akan tetapi, tidak boleh memuji orang tersebut secara berlebihan dengan sifat-sifat yang tidak ada pada dirinya, karena ini merupakan bentuk dusta yang nyata” (Fatawa Islamiyah, 2: 106).

Kedua: an na’yu jika tanpa disertai nida’

Adapun an na’yu tanpa disertai nida’, maka ulama empat mazhab sepakat akan bolehnya. Bahkan dinukil ijmak akan hal ini. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukan an na’yu dengan model ini. Di antara dalilnya adalah hadis dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu,

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم نعى النَّجاشيَّ في اليومِ الذي مات فيه؛ خَرَجَ إلى المُصلَّى، فصَفَّ بهم، وكَبَّرَ أربعًا

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan an na’yu terhadap wafatnya an-Najasyi di hari ia wafat. Beliau lalu keluar menuju lapangan dan membariskan para sahabat dalam saf, kemudian bertakbir 4 kali” (HR. Bukhari no. 1245 dan Muslim no. 951).

Juga hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

أنَّ رجلًا أسودَ- أو امرأةً سوداءَ- كان يقمُّ  المسجِدَ فمات، فسألَ النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم عنه، فقالوا: مات، قال: أفلا كُنْتُم آذنْتُموني به، دُلُّوني على قبره- أو قال قبرِها- فأتى قبْرَها فصلَّى عليها

“Ada seorang lelaki (atau wanita) berkulit hitam yang biasa menyapu masjid. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya tentang orang tersebut. Orang-orang menjawab bahwa orang tersebut sudah meninggal. Nabi berkata, ‘Mengapa kalian tidak mengabarkan kepadaku? Kabarkan kepadaku di mana kuburnya!’ Kemudian Nabi pun mendatangi kubur orang tersebut” (HR. Bukhari no. 458 dan Muslim no. 956).

Perkataan Nabi “mengapa kalian tidak mengabarkan kepadaku?” menunjukkan bolehnya dan tidak tercelanya mengabarkan kematian seseorang tanpa nida’.

Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah mengatakan,

النَّعْي لَيْسَ مَمْنُوعًا كُلّه , وَإِنَّمَا نُهِيَ عَمَّا كَانَ أَهْل الْجَاهِلِيَّة يَصْنَعُونَهُ فَكَانُوا يُرْسِلُونَ مَنْ يُعْلِن بِخَبَرِ مَوْت الْمَيِّت عَلَى أَبْوَاب الدُّور وَالأَسْوَاق

An na’yu tidak terlarang semuanya. Yang dilarang adalah jika serupa dengan yang dilakukan kaum Jahiliyah. Mereka mengutus orang untuk mengumumkan dengan suara keras tentang kematian seseorang, ke rumah-rumah, gang-gang, dan pasar-pasar” (Fathul Bari, 3: 117).

Al Buhuti rahimahullah, ulama Hanabilah, mengatakan,

قالوا: لا بأسَ أن يُعْلِمَ به أقاربَه وإخوانَه من غير نداءٍ

“Para ulama Hanabilah berkata: tidak mengapa melakukan an na’yu atas kematian kerabat dan saudara, tanpa melakukan nida’” (Kasyful Qana’, 2: 85).

Bahkan dinukil ijmak akan bolehnya an na’yu jika tanpa nida’. Ibnu Rusyd Al Jadd rahimahullah mengatakan,

وأمَّا الإِذْنُ بها، والإعلامُ من غير نداءٍ، فذلك جائزٌ بإجماعٍ

“Adapun jika an na’yu sudah atas izin keluarga, dan diumumkan tanpa disertai nida’, maka hukumnya boleh berdasarkan ijmak” (Al Bayan wat Tahshil, 2: 218).

Al Mawwaq rahimahullah juga mengatakan,

وأمَّا الأذانُ والإعلامُ مِن غير نداءٍ؛ فذلك جائزٌ بإجماع

“Adapun memanggil orang-orang dan mengumumkan kematian tanpa disertai nida’, ini hukumnya boleh berdasarkan ijmak ulama” (At Taj wal Iklil, 2: 241).

Ringkasnya, an na’yu jika tanpa disertai nida’, maka hukumnya boleh tanpa khilaf ulama. Wallahu a’lam. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.


























Categories

Pages

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Popular Posts